Selasa, 08 Februari 2011

LAST GIRL

Menjadi siswi kelas 3 SMP? Ah jangan ditanya. Jelas saja teramat membosankan! Oh tidak hanya membosankan tapi… sungguh-sungguh melelahkan juga. Begitu pikir Nadira. Setiap sore harus mengikuti bimbel-bimbel penunjang belajar belum lagi malamnya harus menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan guru setiap harinya. Menyedihkan.
Namun, tidak lagi Nadira rasakan hal menyedihkan seperti itu setelah Ia menemukan seseorang yang dapat membangkitkan semangatnya. Motivatornya. Tepatnya dua minggu yang lalu…
Untuk yang kesekiankali Nadira memandang mantap bayangannya di dalam cermin. Dengan senyum puas Ia hendak beranjak dari pojok dandan tak lupa Ia menyemprotkan parfum Clinnique oleh-oleh dari Tantenya yang menetap di Paris.
“Nad, bisa cepet dikit nggak? Itu taksinya udah nunggu di depan.” Teriak Bundanya dari lantai bawah. Hari ini sopir keluarga Nadira, pak Budi sedang sakit. Terpaksa Nadira harus naik taksi untuk mengikuti bimbel.
“iyaaa, Bun. Ini Nadira udah turun.” Kata nadira sembari menuruni tangga.
“Nadira pamit, Bun.” Kata Nadira lalu mencium tangan Bundanya.
“hati-hati ya sayang.” Kata bunda nadira sambil melambaikan tangan ke arah nadira yang telah hilang dimakan pintu taksi.
Sore itu nadira begitu niat mengikuti bimbel bahasa inggris, mata pelajaran yang paling Ia gemari. Apalagi, Bu Haryo, beliau adalah pengajar bahasa Inggris favorit nadira. Selain ramah dan baik, beliau juga guru yang tegas. Nadira mencatat dengan tekun setiap formula tense yang dituliskan bu haryo. Hingga Ia tak sadar ada siswa baru yang mengikuti bimbel.
“hai! Andra kan?” sapa anak baru tersebut kepada kak Andra.
“hai! Lo anak baru di kelas gue kemarin?” ternyata, anak baru itu teman satu sekolah kak Andra. Kak Andra ini boleh dibilang gebetannya Mona, sahabat Nadira.
“yo’i!” kata anak baru itu sambil menepuk bahu kak Andra.
“hai kak! Kenalin gue Mona.. kakak namanya siapa?” Tanya Mona riang.
“hai, Mon. nama gue Adit.” Kata kak Adit lalu menyambut uluran tangan Mona. Sedangkan nadira masih sibuk mencatat dengan tekun. Itu untuk pertama kalinya kak adit menyapa nadira, dan memperkenalkan diri.
“hai, dek. Kenalin gue adit, gue siswa barunya bu haryo. Nama lo siapa?” kata kak adit dan mengulurkan tangannya ke arah nadira. Nadira menoleh, lalu diam. Terheran-heran. Ia seperti melihat sesosok malaikat surga yang terdampar di bumi.
“hai? Kok bengong? Nama lo siapa?” kata kak adit lagi.
“oh… emm.. anu.. eh.. itu kak.. namaku nadira,tadi nama kakak adit kan? Senang kenal sama kakak.” Kata nadira tergagap. Dia menemukannya. Seseorang yang telah lama dicarinya. Yang diimpikannya. Yang dinantinya. Sejak saat itulah nadira merasakan perubahan dalam hidupnya.
Berwarna. Yaa.. hidupnya kini begitu berwarna. Indah. Hingga saat ini Ia tak mengerti, mengapa sosok yang baru dikenalnya dua minggu lalu itu dapat membuat hatinya bertekuk lutut. Membuat hatinya tidak merasakan kekosongan lagi.
Dering lagu The best damn thing mengudara di saentero kamar nadira dan membangunkan gadis itu dari keterpanaan panjang. Keterpanaannya akan peristiwa dua minggu lalu. Buru-buru nadira menjawab telefon yang ternyata dari kak adit.
“halo kak?” . “halo… lagi ngapain nad? Kakak nggak ganggu kan?” . “nggak kok.. itu nadia lagi dengerin lagu aja, eh ada apa,kak? Tumben amat telfon aku?” . “ah nggak apa-apa kok nad, kangen aja…” . “yeee… kakak aneh ya? Besok juga ketemu.” . “ih.. kok aneh sih nad? Nggak suka ya ditelfon sama kakak?” . “oh.. ya nggak gitu maksud nadira… ya nadira cuma heran aja. Hehehe” . “nad… besok pulang bimbel ikut kak adit makan malam ya? Ke tempat favorit kak adit…” . “hmmm? Ada apa nih? Kak adit ultah?” . “udah ah, banyak tanya deh. Gimana? Mau ya?” . “emmm… iyadeh.”
Dua menit kemudian…
“nad? Kok diem sih?” . “aku bingung mau ngomong apa sama kakak…” . “nad… kakak nggak mau kehilangan kamu, jujur… kakak sayang banget nad sama kamu. Misal nanti kakak pergi kamu jaga diri ya nad… inget, kamu udah kelas 3 jaga kesehatan jangan sampai sakit juga. Eh, Kamu percaya nggak nad sama cinta terakhir? Kakak pengen kamu tuh jadi cinta terakhirnya kakak. Kamu nggak perlu jadi yang pertama, cukup jadi yang terakhir.. itu jauh lebih indah. Dan kakak harap, kakak jadi yang pertama dan terakhir juga buat kamu.” . “ah… kakak apaan sih? Masih kecil juga udah ngomongin cinta. Emang sampai kelas 2 SMA gini kakak belum punya pacar? Jangan-jangan nggak laku? hahaha.”
“hahaha… kakak tuh selektif orangnya. Wuuu” . “yeee dasar aneh.” . “kok aneh? Eh nad, mau janji nggak sama kakak?” . “janji apa dulu nih?” . “janji ke kakak, mulai malam ini dan seterusnya kamu nggak bakal sedih lagi. Gimana mau janji nggak?” . “iya kak, nadira janji nggak bakal sedih lagi.asal kakak juga janji nggak akan ninggalin nadira,gimana?” . “kakak janji. Walaupun suatu saat nanti kakak nggak ada di dekat kamu, percaya deh kakak tetap ada di hati kamu. Kamu nggak perlu sedih. Oke? Yaudah nad, udah malem. Kamu tidur gih.. see you tomorrow yah!” . “good night kak! Have a nice dream”
Telefon terputus… tak lama nadirapun tertidur dengan lelap. Pada saat yang sama namun ditempat yang berbeda. Adit masih terjaga, di balkon kini adit duduk termenung menatap kotak music hitam berbentuk hati yang di dalamnya terdapat miniature grand piano classic.
Entah mengapa, malam ini adit begitu gelisah. Jiwanya tak tenang. Ada perasaan aneh yang mengusik jiwanya. Atau ini hanya perasaan tak sabar menunggu hari esok? Hari dimana ia akan menyatakan perasaannya secara resmi kepada perempuan yang baru ia kenal dua minggu lalu? Adit sendiri tak tau perasaan apa ini. Yang jelas, baginya malam ini terasa begitu panjang, tak lama mata adit mulai terpejam. Ia tertidur. Namun jiwanya yang gelisah masih terjaga. Tak tenang. Alhasil, pukul 04.00 adit kembali terbangun. Diambilnya air wudhu lalu segera sholat subuh.
Hari ini nadira begitu bersemangat. Begitu sampai di sekolah langsung dicarinya mona. Ia sudah tak sabar untuk bercerita tentang rencana kencan pertama bersama kak adit nanti malam. Akhirnya ia mendapati mona tengah sibuk menyalin tugas di bangkunya. Buru-buru ia ceritakan semuanya. Mona senang melihat sahabatnya bahagia seperti ini.ini pertama kalinya nadira jatuh cinta dan nadira tak salah mencintai seorang lelaki seperti kak adit, nadira pantas mendapatkan kak adit. Begitu pikir mona.
“iyaa deh nad gue ikutan seneng. Eh entar kalau udah jadian traktir gue ya? Hehehe”
“yah elo mon, traktiran mulu deh pikirannya. Belum juga jadian.”
“ya gue do’ain lah nad… kan kalo elo seneng gue ikutan seneng? Ya nggak?”
“iyaa lo seneng soalnya ada traktirannya kan? Wooooo”
“hehehe tau aja lo”
Masih pukul tiga sore. Tak seperti biasanya, kali ini nadira sudah rapi di depan cermin. Sejak satu jam yang lalu nadira memang sudah ribut sendiri di dalam kamar.dari sibuk memilih baju, sepatu, tas, hingga aksesori. Akhirnya ia menjatuhkan pilihan pada babydoll berwarna jingga. Untuk alas kaki, ia akan mengenakan sandal velvet berwarna hitam, netral dan tidak terlalu mencolok. Seperti biasa ia menguncir kuda rambut lurusnya yang sebenarnya terlihat tebal itu. Sentuhan terakhir, parfum clinnique kesayangannya. Dengan senyum puas nadira mentap bayangannya di dalam cermin. Pas. Tidak berlebihan. Tidak terasa waktu berjalan teramat cepat. Mendadak sudah pukul setengah empat sore. Pak budi, sopir pribadi keluarga nadira pun sudah bersiap di halaman depan. Ketika nadira menuruni tangga, tersungging senyum geli di wajah bunda nadira yang akhir-akhir ini sering memperhatikan putrid semata wayangnya itu.
“duh, putrinya bunda udah dewasa ya.”
“apaan sih bunda, nadira kan malu. Yaudah bun, nadira pamit udah telat nih.” Kata nadira lalu mencium pipi kanan bunda nya.
“hati-hati, sayang!”
“pak, entar aku pulangnya bareng temen.”
Sementara itu di rumah adit…
“mam, adit mau pergi nih… doain adit ya ma.” Kata adit pada mamanya sambil berlutut mencim tangan mamanya.
“doa buat apasih dit, tumben amat kamu? Tapi okelah… do’a mama selalu menyertai kamu dit.” Mama adit tersenyum.
“adadeh… nanti mama juga tau. Makasih ya ma. Alvin mana?”
“adek kamu lagi maen basket di halaman belakang, biar mama panggil.”
“Vin… dicari bang adit nih. Mau pamitan kayaknya.”
Tanpa berkata apa-apa Alvin menuju ruang tamu, “ada apa sih, bang? Tumben amat lo pamit sama gue? Nggak sekalian pamit sama bi minah juga?” kata Alvin malas.
“yee nih anak. Bi minah udah tadi. Gini vin, gue minta do’a lo nih… do’ain gue sukses ya? Ntar kalo gue sukses, lo gue jajanin sebulan deh.”
“nyogok nih ceritanya? Tapi okelah. Gue do’ain bang! Asal jangan lupa jajanin gue nya.”
Adit memeluk Alvin erat dan mantap. “oke sip. Thankyou ya vin.” “semuanya adit pergi dulu yah. Vin, pinjem motor lo ya. Motor gue masih di bengkel.” Kata adit buru-buru.
“jangan lupa bensi nya diisi bang!”.
Kawasaki ninja 250cc itu meninggalkan halaman rumah yang megah dan besar. Motor adit terus berpacu dijalanan. Padatnya jalanan dengan mudah ditaklukan adit. Dengan kecepatan tinggi ninja itu menyapu jalanan yang padat. Teriakan dan sumpah serapah dari para pengguna jalan yang lain menyertai laju Kawasaki ninja itu. Adit tak sadar bahwa 100m di depan terdapat sebuah tikungan. Ia tetap memacu ninjanya dengan kecepatan tinggi. Hingga sebuah truk muatan muncul dari tikungan tersebut…
Suara rem berdecit sia-sia…
Disusul dengan dentuman keras menyayat antara badan truk dan ninja hitam itu…
Tubuh itu terlempar dan akhirnya terhempas diatas kerasnya aspal…
Darah mengucur deras dari balik helm takachi yang ternyata sudah pecah menjadi dua bagian.
Denyut nadi yang begitu rapuh perlahan menghilang… tak berbekas… dan tak kembali lagi. Jiwa itu telah meninggalkan raga tak berdaya bercucuran darah…
Di rumah bu haryo…
“kak andra, kak adit mana sih? Kok belum dateng?” bisik nadira kepada kak andra. Nadanya khawatir dan gelisah.
“tadi dia telfon mau ke rumah seta dulu, nad. Sabar aja deh.” Kata andra setengah bergumam. Gusinya bengkak.
Dua jam kemudian…
Telefon rumah bu haryo berdering, dan beliau mendapat kabar bahwa adit kecelakaan. Nadira pucat pasih. Andra menuju rumah sakit menggunakan motor. Sedangkan mona dan nadira terpaksa menunggu bu haryo dan suaminya untuk pergi ke rumah sakit bersama.
“yaudah… lo tenang ya, biar gue telfon orang tua lo.” Kata mona lalu menelfon bunda nadira.
Sesampai di rumah sakit nadira mendapati kak andra menangis di depan kamar mayat. Tak lama, keluarlah dua orang suster dan seorang dokter beserta pemuda yang terbujur kaku dibalik sebuah kain putih penuh bercak darah dan diikuti kedua orang tua pemuda itu yang juga menangis histeris. Nadira tau siapa pemuda yang terbujur kaku tak berdaya itu… pemuda itu orang yang teramat penting bagi nadia… cinta pertamanya… dan mungkin cinta terakhirnya… nadira spontan menjerit… sekuat tenaga… hingga jeritan tersebut berubah menjadi tangisan yang menjadi-menjadi… air mata nadira kini bersaing dengan hujan yang mengguyur deras malam ini. Nadira masih meronta dari pelukan mona. Mona dapat merasakan kepedihan yang dirasaakan sahabatnya. Kehilangan orang yang dikasihi. Pasti sangat menyakitkan. Bu haryo masih berusaha menenangkan mama adit yang tangisannya tak kalah hebat dari nadira. Semua bersedih… semua sakit… semua kehilangan… namun ada beberapa yang merasakan lebih dari itu… lebih dari kehilangan.
Pagi ini adalah upacara pemakaman adit. Semua anggota keluarga, kerabat terdekat, dan para guru menghadirinya. Nadira masih berkabung. Dia juga menghadiri upacara pemakaman ini orang tua nadira pun ikut serta. Sepanjang upacara pemakaman nadira hanya menangis terseduh-seduh di pelukan mona. Apapun yang terjadi saat ini… entah berapa tetes air mata yang akan dikeluarka… takakan membuat keadaan menjadi utuh kembali. Sejauh apapun mereka mencari… takkan mereka temukan adit di ujung dunia sekali pun. Kenyataan yang harus segera mereka fahami dan mengerti adalah,
ADIT KINI SUDAH PERGI… DIA SUDAH TIADA…
Upacara selesei dan diakhiri oleh do’a bersama. Pelayat sudah mulaiberanjak meninggalkan kompleks pemakaman. Mona terpaksa harus meninggalkan nadira yang memaksa untuk tinggal beberapa saat saja disini. Nadira benar-benar terisak hingga sulit benafas untuknya.
“kak adit janji kan nggak akan tinggalin nadira? Kenapa kak adit ingkar? Kenapa kak? Sakit kak… hati nadira sakit bangeeet.,,” isaknya. Tiba-tiba ada seseorang duduk di samping nadira, lalu berkata
“lo yang namanya nadira?” nadira menatap heran lelaki itu lalu mengangguk. “hahaha… salah banget kakak gue nilai lo. Ternyata lo itu Cuma cewek cengeng! Cewek cengeng yang nggak bisa terima kenyataan. Padahal kakak gue pernah cerita kalo lo itu cewek tegar, ceria, dan selalu tersenyum… tapi ternyata salah. Lo juga ingkar sama kakak gue! Malem itu lo janji nggak bakal sedih kan? Tapi sekarang? Lo hancurin kepercayaan kakak gue! Payah.” Jelas lelaki itu.
“stop! Maksud lo ngomong gitu apa? Gue cewek tegar! Gue nggak cengeng! Kakak lo yang udah ingkar. Dia ninggalin gue!” timpal nadia “gue adeknya adit. Alvin. Heh! Tau dari mana lo kalo kakak gue ninggalin elo? Ha? Sekarang masalahnya dia udah beda dunia sama kita. Tapi itu nggak berarti kalo dia ninggalin elo! Asal lo tau, abang gue adalah orang paling setia yang pernah gue kenal setelah mama dan papa. Dia amat sangat menghargai makhluk yang namanya cewek. Dan jangan sekali-kali lo ngatain dia ingkar atau apa! Dia nggak gitu. Percaya sama gue!” nadira terdiam… air matanya kembali terurai. “ini… gue temuin benda ini dari ranselnya bang adit. Gue yakin itu buat lo.” Kata Alvin sambil mengulurkan sebuah kotak dilapisi kertas kado.
Malamnya, nadira membuka kotak itu, ternyata isinya kotak music dengan miniature grand piano classic berwarna hitam metallic. Di dalam kotak music itu terdapat sepucuk surat,













“yes… I’ll” kata nadira lirih.

SELESAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar